A. Hakikat Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah perkembangan dari pikiran. Pikiran adalah bagian dari otak, bagian yang digunakan yaitu untuk pemahaman, penalaran, pengetahuan dan pengertian. Kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan (inteligensi) yang menandai seseorang dengan berbagai minat terutama ditujukan kepada ide-ide dan belajar (Ahmad Susanto 2011:47).
Menurut Piaget perkebangan kognitif manusia mengikuti suatu pola umum yang mencakup empat tahapan. Keepat tahapan perkembangan kogniitf tersebut adalah (1) sensorimotor (0-2 tahun), (2) praoperasional (2-7 tahun), (3) oerasionl konkrit (7-11 tahun), dan (4) operasional formal (11 tahun ke atas). Pengajaran berhitung hendaknya dikaitkan dengan keempa tahapan perkembangan tersebut. Pengajaran berhitung yang tidak disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak tidak hanya menyebabkan anak mengalami kesulitan tetapi juga menghambat perkembangan kognitif berikutnya oleh karena itu, guru berhitung hendaknya memiliki pemahaman yang cukup tentang teori perkembangan kognitif.
Meskipun pola perkembangan kognitif sering dikaitkan dengan umur, anak berkesulitan belajar umumnya memiliki perkembangan kognitif yang lebih lamba bila dibandingkan dengan anak-anak lain pada umumnya. Pada saat masuk SD anak-anak umumnya telah memasuki tahap perkembangan konitif operasional konkrit tetapi anak berkesulitan belajar berhitun ada yang masih berada pada tahapan perkembangan kognitif sensorimotor atau masih pada tahap awal praoperasional. Pada saat duduk di kelas-kelas akhir SD, anak-anak umumnya telah mulai memasuki awal tahap perkembangan kognitif operasional-formal tetapi anak berkesulitan belajar berhitung sering masih tetap berada pada tahap perkembangan kognitif operasional-konkrit. Pendekatan pengajaran berhitung yang bertolak dari teori perkembangan kognitif menekankan pada penggunaan kesiapan belajar anak, penyediaan pengalaman dasar, dan pengajaran keterampilan prasyarat. Seluruh progra pengajaran berhitung didasarkan atas pertimbangan taraf perkembangan kognitif anak dan metode yang digunakan disesuaikan denan tahap perkembangan kognitif tersebut.
Perkembangan kognitif menggambarkan bagaimana pikiran anak berkembang dan berfungsi untuk dapat berpikir. Perkembangan kognitif adalah gabungan dari kedewasaan otak dan sistem saraf, serta adaptasi dengan lingkungan. Semua anak memiliki pola perkembangan kognitif yang sama melalui empat tahapan Piaget (Slamet Suyanto, 2005:53), yaitu:
a. Sensorimotor (0-2 tahun)
Pada tahap perkembangan ini anak belajar melalui berbagi indra dan gerakan (sensori-motor). Melalui meraba menggigit, memukul, menjatuhkan dan memanupulasi berbagai obek, anak memperoleh pengetahuan tentang sifat ruang, waktu, lokasi, ketetapa obyek, anka memperoleh pengetahuan tenang sifat ruang, waktu, lokasi, ketetapan obyek, dan sebab akibat. Berbagai pengetahuan tersebut umumnya diperoleh anak secara alam dan didukung oleh lingkungan sosial yang kondusif. Tidak seperti anak – anak pada umumnya anak berkesulitan berhitung sering kurang menunjang bagi tumbuhnyamotivasi anak untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya. Oleh karen aitu guru bagi anak berkesulitan belajar berhitung perlu menyusun suatu program pembelajaran yang memungkinkan anak mengenal lingkungan benda –benda di sekitar anak melalui meraba, melihat, mencium, mendorong, melempar, dan memanipulasi benda-benda dengan berbagai cara.
b. Kognitif Praoperasional (2-7 tahun)
Tahap perkembangan ini dibagi menjadi dua subtahapan, yaitu subtahapan prakonseptual (2-4 tahun) dan subtahapan berfikir intuitif (4-7 tahun). Berbeda dari tahapan sensorimotor yng perilakunya maish praverbal (belum menggunakan kata-kata) dan tidak menggunakan tanda atau simbol, biasanya dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itu, subtahapan prakonseptual ini oleh Piaget dipandang sebagai fungsi simbolik. Pada usia 2-4 tahun anak berkesulitan belajar berhitung sering sebelum mampu mengembangkan fungsi tersebut, dan bagkan juga berlanjut hingga saat duduk di kelas permulaan SD.
Pada subtahapn berpikir intuitif (4-7 tahun) anak mulai dapat mengelompokkan berbagai benda berdasarkan sifat khususnya, tetapi masih terbatas pada suatu dimensi saja, misalnya warnanya, bentuknya, atau panjangnya saja. Pada subtahapan ini anak belum dapat memusatkan perhatian pada dua dimensi yang berbeda secara bersamaan. Misalnya panjang dan warnanya.
Ada empat konsep dasar yang perlu diajarkan kepada anak0anak berkesulitan belajar saat masuk SD. Keempat konsep dasar tersebut adaah:
a. Konsep bilangan, mencakup pengertian tentang banyak, sedikut, satu, dua, sepuluh, dan sebagainya.
b. Konsep ruang, mencakup atas bawah, samping, sudut, jauh, dekat, dan sebagainya.
c. Konsep waktu, mencakup sebentar, lama, kemarin, besk dan sebagainya,
c. Konkret operasional (7-11 tahun), pada tahapan ini anak sudah mampu memecahkan persoalan sederhana yang bersifat konkrit, anak sudah mampu berpikir berkebalikan atau berpikir dua arah, misal 3 + 4 = 7 anak telah mampu berfikir jika 7 – 4 = 3 atau 7 – 3 = 4, hal ini menunjukan bahwa anak sudah mampu berpikir berkebalikan.
d. Formal operasional (11 tahun ke atas), pada tahap ini anak sudah mampu berpikir secara abstrak, mampu membuat analogi, dan mampu mengevaluasi cara berpikirnya. Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa perkembangan anak bersifat kontinyu dari tahap ke tahap dan tidak terputus. Pada tiap anak berbeda-beda dalam mencapai suatu tahapan, terkadang batas antara tahap satu dengan tahap lainnya tidak begitu terlihat
Anak usia TK berada pada tahap praoperasional (2-7 tahun). Istilah praoperasional menunjukan pada pengertian belum matangnya cara kerja pikiran. Pemikiran pada tahap ini masih kacau dan belum terorganisasi dengan baik (Santrock, 2002:251). Pada tahap usia ini sifat egosentris pada anak semakin nyata.
Jika seorang anak tidak memperlihatkan indikator perkembangan kognitif Piaget sesuai dengan rentan usianya atau pun tidak mengikuti pola perkembangan kognitif tersebut, maka ada kemungkinan anak mengalami kesulitan dalam kemampuan perkembangan kognitifnya. Sehingga anak tersebut tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas kognitif yang di tuntut oleh kebanyakan sekolah. Serta mempengaruhi proses belajarnya, dan anak akan berkesulitan belajar.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan anak dalam menyelesaikan tugas-tugas kognitif terkait dengan gaya kognitif mereka. Gaya kognitif adalah cara seseorang dalam menghadapi tugas kognitif dan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan (pemecahan masalah). Hallahan, Kauffman, dan Llody (1985: 84) berpadangan bahwa gaya kognitif adalah bagaimana cara seseorang berpikir (how of thinking), dan setiap orang memiliki gaya kognitif yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas-tugas pemecahan masalah.
Pada kajian anak berkesulitan belajar akan ada dua dimensi yang mempengaruhi gaya kognitif seorang anak, yaitu : (a)gaya kognitif ketidakterikatan-keterikatan pada lingkungan (field independence-field dependence), dan (b)gaya kognitif reflektifitas-impulsivitas (reflectivity-impulsivity) (Hallahan, Kauffman, dan Lloyd, 1985: 84).
a. Gaya Kognitif Ketidakterikatan-Keterikatan Pada Lingkungan
Kemampuan seseorang untuk membebaskan diri dari pengaruh lingkungan pada saat membuat keputusan tentang tugas-tugas perseptual. Disebut keterterikatan pada lingkungan (field dependence) karena seseorang dalam menghadapi tugas-tugas perseptual banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dan disebut ketidakterikatan pada lingkungan (field independence) karena seseorang tidak mudah terpengaruh pada lingkungan terhadap tugas perseptualnya.
Anak berkesulitan belajar umumnya tergolong dalam gaya kognitif keterikatan pada lingkungan. Sehingga anak tersebut mudah terkecoh oleh informasi yang menyesatkan dan persepsinya menjadi tidak akurat. Implikasi kondisi tersebut, maka perlunya latihan bagi anak bekesulitan belajar agar mampu memusatkan perhatian pada data perseptual yang esensial dan menghindari diri pada pengaruh data yang mengecohkan.
b. Gaya Kognitif Reflektifitas-Impulsivitas
Kemapuan yang terkait dengan pemanfaatan atau penggunaan waktu yang diperlukan anak dalam menjawab persoalan dan jumlah kesalahan yang dibuat. Anak yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara cepat tetapi membuat banyak kesalahan, sedangkan anak yang reflektif cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan. Umumnya anak berkembang dari impulsif ke reflektif, yang berarti bahwa anak yang muda lebih impulsif dan anak yang tua cenderung lebih reflektif.
Meskipun demikian berbeda halnya dengan anak berkesulitan belajar, mereka lebih cenderung dengan gaya kognitif yang impulsif, walaupun usianya mungkin lebih tua.Karena gaya kognitif impulsif tersebut anak berkesulitan belajar memiliki problema bukan hanya dalam bidang akademik tetapi juga pada perilakunya. Implikasi dari kondisi tersebut maka perlunya latihan, khususnya bagi anak berkesulitan belajar dengan gaya kognitif impulsif agar mereka memperoleh latihan merespons suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang lebih hati-hati.
Karena tujuan akhir membaca adalah untuk memahami isi bacaan, seperti yang sudah tertulis di paragraf-paragraf atas. Maka untuk memahami isi bacaan diperlukan proses berpikir untuk mencerna apa yang hendak penulis naskah sampaikan pada tulisannya. Proses berpikir itu yang dikenal juga dengan proses kerja kognitif. Sejalan dengan apa yang sudah disampaikan di atas, maka peranan kognitif sangat penting dalam menciptakan kemampuan membaca. Dengan demikian jelas bahwa, jika seseorang mengalami keterlambatan atau tetidaksesuaian pola perkembangan kognitif maka kemampuan membaca untuk memahami suatu naskah akan mengalami keterlambatan.
B. JENIS-JENIS STRATEGI KOGNITIF
Gagne (1984) mengidentifikasi strategi kognitif berdasarkan alur proses instruksional mulai dari memperhatikan (attending), mengolah stimulus ( encoding), mencari kembali informasi (retrieval), dan berpikir. Untuk setiap tahap mahasiswa dapat menggunakan strategi kognitif yang berbeda-beda.
West, Farmer dan Wolff (1991) menjelaskan adanya 4 keluarga besar strategi kognitif, yaitu Chnkung, Spatial, Bridging, dan Multipurpose.
1. Chunking, merupakan strategi mengorganisasikan sesuatu secara sistematis melalui proses mengurutkan (order), mengklasifikasi (classify, dan menyusun (arrange). Chunking dapat membantu seseorang untuk mengolah data yang sangat banyak atau proses yang sangat kompleks. Melalui chunking, seseorang memilah-milah materi kuliah atau masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, kemudian menyusun bagian-bagian tersebut secara berurut.
2. Spatial merupakan suatu strategi untuk menunjukkan hubungan antar hal yang satu dengan yang lain. Dalam kategori ini termasuk “frames” (tabel) dan “concept maps” (peta konsep)
3. Bridging merupakan strategi untuk menjembatani pemahaman seseorang melalui “metafor” (perumpamaan), analogi dan advance organizer. Metafor dan analogi merupakan strategi pengandaian yang dapat menjembatani suatu konsep baru dengan menggunakan konsep yang sudah dipahami sebelumnya. Advance organizer merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan tentang konsep-konsep dasar materi yang harus dipelajari, hanya dapat dibuat oleh dosen untuk memudahkan mahasiswa belajar.
4. Mulitpurpose merupakan strategi kognitif yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain rehearsal, imagery, dan mneumoncs (jembatan keledai). Rehearsal merupakan cara untuk untuk mereviu materi, bertanya, mengansipasi pertanyaan dan materi, yang hanya dapat dilakukan oleh mahasiswa, dosen dapat memberikan waktu agar mahasiswa dapat melakukan rehearsal. Imagery (membayangkan) merupakan proses visualisasi suatu konsep, kejadian, ataupun prinsip. Mneumonics merupakan alat bantu untuk mengingat, misalnya singkatan.
C. METAKOGNITIF DAN PERKEMBANGANNYA PADA ANAK
1. Pengertian Metakognitif
Menurut Suherman et.al. (2001 : 95), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.
Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”.
Flavel (Jonassen, 2000 : 14) memberikan definisi metakognitif sebagai kesadaran seseorang tentang bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran sesuatu masalah, kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuDalam Desmita (2006 : 138) dinyatakan bahwa penelitian Flavel tentang metakognitif lebih difokuskan pada anak-anak. Flavel menunjukkan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya pikiran, memiliki keterkaitan dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, dapat menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menginterpretasi tentang realitas dan emosi yang dialami.Anak-anak usia 3 tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah peristiwa mental internal yang menyenangkan, yang referensial (merujuk pada peristiwaperistiwa nyata atau khayalan), dan yang unik bagi manusia. Mereka juga dapat membedakan pikiran dengan pengetahuan.
Dari beberapa penelitian lain terungkap bahwa anak-anak yang masih kecil usia 2 – 2,5 tahun telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah objek dari orang lain mereka harus menggunakan taktik penipuan, seperti berbohong atau menghilangkan jejak mereka sendiri. (Hala et.al., dalam Desmita, 2006 : 138). Sementara Wellman dan Gelman (Desmita, 2006 : 138) menunjukkan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama kehidupannya. Kemudian pada usia 3 tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan internal dari seseorang berkaitan dengan tindakantindakan orang tersebut. Secara lebih rinci Wellman menunjukkan kemajuan pikiran anak usia 3 tahun dalam empat tipe pemahaman yang menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu : (1) memahami bahwa pikiran terpisah dari objek-objek lain; (2) memahami bahwa pikiran menghasilkan keinginan dan kepercayaan; (3) memahami tentang bagaimana tipe-tpe keadaan mental yang berbeda-beda berhubungan; dan (4) memahami bahwa pikiran diguunakan untuk menggambarkan realitas eksternal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar