A. Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia
1.
Nilai dan
Moral sebagai Materi Pendidikan
Ada beberapa bidang filsafat yang berhubungan
dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, salah satu diantranya adalah
aksiologi, bidang ini disebut filsafat nilai, yang memiliki dua kajian utama
yaitu estetika dan etika. Estetika berhubungan dengan keindahan, sementara
etika berhubungan dengan kajian baik buruk dan benar salah. Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada
hubungannya dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya
adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni
estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan
keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena
manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan
dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika
dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji
persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya.
Jika persoalan etika dan estetika ini
diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah persoalan apakah pihak lain atau
orang lain dapat mencampuri urusan pribadi orang tersebut? Seperti halnya jika
seseorang menyukai masakan China, apakah orang lain berhak menyangkal jika
masakan China adalah masakan yang enak untuk disantap dan melarang orang
tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu hanya sebagian kecil persoalan ini,
begitu kompleksnya persoalan nilai, maka pembahasan hanya dibatasi hanya pada
pembahasan etika saja. Menurut Bartens ada tiga jenis makna etika, yaitu:
1.
Kata etika
bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2.
Etika
berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3.
Etika
mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di
atas menjadi materi bahasannya, oleh karena itu bukan hanya nilai moral
individu yang dikaji, tetapi juga membahas kode-kode etik yang menjadi patokan
individu dalam kehidupan sosisalnya, yang tentu saja karena manusia adalah
makhluk sosial.
2.
Nilai Moral di Antara Pandangan
Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam
hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai
nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang
objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya.
Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat
tergantung pada subjek yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau
objektif:
Pertama, apakah objek itu
memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya karena
objek itu memiliki nilai
Kedua, apakah hasrat,
kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami
preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan
asing bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi, 2001, hlm. 19-24).
3.
Nilai di
Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang
tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus
ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan
kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan
sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang
memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian
kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya,
kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas
sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai.
Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau
memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek.
Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki
objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah
independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.
4.
Metode
Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan
manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil
sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki, yaitu:
1.
Nilai
menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas)
seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2.
Nilai
tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu
klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang dipermasalahkan,
keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan antara
pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai itu
sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat
bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai
kerohanian. Dan masih banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun adapula
pembagian hierarki di Indonesia (khususnya pada masa dekade Penataran P4),
yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis.
5.
Pengertian Nilai
Walaupun begitu banyaknya pakar yang mengemukakan pengertian
nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai
berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai
yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya upaya memberikan
pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik
pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda,
terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value
Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut
kepentingannya.
6.
Makna Nilai bagi Manusia
Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat
mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu
menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga
nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas,
harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan.
B. Problematika Pembinaan
Nilai Moral
1.
Pengaruh Kehidupan
Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Persoalan merosotnya intensitas interaksi
dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua
dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai
moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas
nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi si
anak.
2.
Pengaruh
Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang yang menjadi teman anak akan
menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak
positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya akan
berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk, jadi
diperlukan pula pendampingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya, terutama
bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur.
3.
Pengaruh
Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi
utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu
kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang
tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering harus
melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah sebabnya seorang figur
otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam
perkembangan nilai moral.
4.
Pengaruh
Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan
perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam media komunikasi mutakhir
tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup yang terfokus sehingga
memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak dipenuhi oleh
kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar
bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
5.
Pengaruh
Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pendidikan tentang nilai moral yang
menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk
mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan
antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan
lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.
6.
Pengaruh
Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Munculnya berbagai informasi, apalagi bila
informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi kognitif yang sama,
misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga
dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada individu yang akhirnya akan
menimbulkan kebingungan nilai bagi individu tersebut.
C. Manusia Dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan,
mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di
luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang
tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan
adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini
bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan
mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai
pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
tersebut.
Manusia
dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di
mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu
akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen
pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat”
tersebut adalah hukum.
Untuk
mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan
(organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial
(social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan
tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata
pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).
D. Hubungan Hukum Dan Moral
Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai
moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum
harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang immoral
harus diganti.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu
erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada
hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang
berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral.
Gunawan Setiardja, membedakan hukum dan moral, pertama dilihat dari
dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsensus, dan hukum alam, sedangkan
moral berdasarkan hukum alam, kedua, dilihat dari otonominya, hukum bersifat
heteronom yaitu datang dari luar diri sendiri, ketiga dilihat dari pelaksanaan,
hukum secara lahiriah dapat dipaksakan, sedangkan moral secara lahiriah dilihat
dari sanksinya, sanksi hukum bersifat yuridis sanksi lahiriah, sedangkan sanksi
moral berbentuk sanksi kodrati batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
Kelima dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan
menegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia, keenam
dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat,
sedangkan moral scara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu.
(1990,119)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar